DEJA
VU
Andi
Makkaraja:
Hujan
menangis. Seperti itulah aku memikirkan hujan kali ini. Derasnya menumpah tepat
beberapa detik setelah aku dan orang-orang menguburkan diriku dalam liang yang
tanahnya kini menjadi becek dan berair. Mungkin besok dan nanti tak ada hari
lagi sebab hujan kali ini betul-betul merampas hak matahari dan menjadikannya
tanpa wujud. Hilang serupa malam. Aku menyaksikan kuburanku sendiri. Air keluar
dari setiap sisinya. Mungkin tanah di atasku itu yang kini telah mencair tak
kuat menampung jutaan volume air yang terus mengalirinya, atau mungkin ia juga
menangis?
Tak
cukup dengan air langit yang terus membumi, suara yang penuh dengan nada samar
datang beriringan dengannya. Aku tak mengerti apa yang dibunyikannya atau yang
ingin dikatakannya, tapi suatu masa aku menangkap bunyi sirine mobil pengantar
jenazah terselip di antara raungannya. Aku mengabari diriku tentangnya, ia pun
berduka.
Aku menyudutkan
tubuh pada tepi kamar. Ingin kukutuk air yang terus menghujaniku dan petir yang
terus meneriakiku.
***
Seseorang menghampiriku. Mataku yang
sembab tak mengenalinya. Seperti kanvas yang tak tersentuh kuas, wajahnya putih
dan kosong. Aku tak menemukan sedikit goresan di sana. Betul-betul kaku dan
dingin. Berikutnya, dari jarak yang tidak begitu jauh dan tidak begitu dekat
dari mataku, terlihat wajahnya mulai bercerita. Bibirnya digerak-gerakkan
seperti ingin melafalkan sesuatu, tapi telinga dan mataku tak mampu
menerjamahkannya. Aku kalap.
***
Aku merasakan tubuhku membatu. Beku.
Gemetar menahan dingin. Tulangku terasa nyeri seperti tertusuk-tusuk duri.
Pori-poriku mengeluarkan air, tapi aku merasaknnya panas. Keringat panas.
Beberapa jam lamanya, aku tetap
dengan keadaan itu, terbaring kaku. Aku mulai menghapal kejadian-kejadian sama yang
selalu berulang setiap jam-nya di ruangan beukuran sedang dan putih itu. Aku juga mulai menghapal wajah-wajah yang
selalu datang bergiliran menemaniku. Aku tak bisa mengingat jumlahnya tapi
mereka semua serupa. Berambut panjang dan indah, berwajah cerah dengan mata dan
bibir selalu tersenyum, potongan baju mereka pun selalu sama dan semuanya
berwarna putih bersih.
***
Tubuhku terbentur di sudut kursi.
Seseorang melemparku dengan keras ke dalam ruangan yang lebih pantas di sebut
neraka. Atau mungkin memang inilah neraka yang sering disebut-sebut para
penceramah dalam dakwahnya. Mungkin tempat ini sudah menjadi neraka jauh
sebelum aku menamainya neraka dan berada di dalamnya. Pengap dan gelap.
Aku mencium bau keringat dan bukan
dari tubuhku. Mungkin ada orang lain di tempat ini. Aku meraba-raba sisi tembok
yang kasar dan gelap itu.
“Siapa di sana?” Teriakku. Suaraku
terpantul dan menanyaiku balik dengan pertanyaan yang sama. Aku mengulang
kembali enam sampai delapan kali tapi tetap tak ada jawaban.
“Weh bocah sialan, hentikan!
Telingaku sakit mendengar suaramu.” Seseorang menggertakku dari luar. Penjaga
ruangan ini.
“Siapa yang kau sebut bocah? Dasar
kacung tolol.”
“Apa? Kau memanggilku kacung?”
Suaranya meninggi.
“Iya kacung! Kenapa?”
“Coba kau ulang sekali lagi!”
“K A – C U N G!!!”
Wajahnya memerah. Matanya melotot
tajam. Napasnya tersengal-sengal. Nampaknya ia betul-betul ingin menelanku
bulat-bulat. Ia lalu duduk kembali, setelah sempat bediri tegang. Aku merasa
menang.
***
Sebelumnya. Di ruangan putih.
Empat orang berpakaian rapi datang
mengerumuniku. Kali ini aku melihat seorang yang beda di antara mereka. Tak
berambut panjang dan indah, tak bertubuh anggun, dan tak berwajah cerah seperti
yang lainnya. Ia justru bertubuh gempal, berkulit agak gelap, dan aku tahu ia
seorang lelaki. Ia menyunggingkan senyum ke arahku. Samar-samar aku mendengar
ia membisikkan sesuatu kepada salah seorang rekannya. Perempuan itu lalu
beranjak pergi dan kembali dengan beberapa benda asing di tangannya. Aku
mengamati mereka dengan mata bergerak-gerak ke sana kemari. Lelaki gempal itu
terlihat membisikkan sesuatu lagi, tapi kali ini bukan hanya kepada perempuan
tadi, tetapi juga kepada dua rekannya yang lain. Sepertinya ada kesepakatan di
antara mereka. Ketiga perempuan itu lalu merapat ke arahku. Salah seorang di
antara mereka mengutak-atik tempat tidurku. Beberapa selang kemudian mereka
mendorong tempat tidurku dan membawaku pergi.
“Tinggalkan aku sendiri. Biarkan aku
di sini. Jangan membawaku pergi.” Aku meronta. Aku tak ingin meninggalkan
ruangan putih itu. Mereka tak mempedulikan kata-kataku. Mereka tak
mempedulikanku. Seperti singa yang nyaris kehilangan akal karena tertarik
kemolekan rusa yang menari di depannya, aku dengan gila menerkam salah seorang
di antara mereka. Kemarahan membuatku lupa diri dan tak mengingat semua
kejadian setelah itu, sampai seseorang menyeretku ke sebuah ruangan yang
kunamai neraka.
***
“Pergi sana. Kami tak tahan dengan
tingkahmu. Anjing!” Gerutu penjaga neraka yang tiap harinya beradu mulut
denganku.
Aku tersenyum puas. Terbebas dari
neraka yang selama ini menyangkarku. Neraka pun menyerah kepadaku.
***
Esoknya.
Aku tiba di tempat yang kusebut surga.
Kuketuk pintunya. Berkali-kali, tak ada jawaban. Aku teringat, aku pernah
menyimpan kuncinya di bawah pot bunga. Kugeledah dasar pot itu dan aku
menemukan yang kucari. Segera kubuka pintunya. Suasana lengang, sunyi, dan
berdebu menyambutku.
“Ayah!”
“Ayah! Aku pulang.” Aku terus
memanggil ayah dan berjalan ke setiap sisi rumah itu. Semua tempat kosong dan
akhirnya aku sampai di depan kamarku. Aku membuka pintunya dan kenangan tentang
aku, ibu, dan ayah kembali memutar di otakku. Dari balik jendela yang tingginya
tak seberapa, aku melihat dua buah batu nisan saling berdampingan. Aku tak
mengenali gundukan tanah di sebelah kuburan ibu. Aku melangkah ke pojok kamar
hingga berdiri tepat di muka jendela. Tulisan di nisan itu pun semakin jelas.
Aku mengejanya, I-S-M-A-I-L.
Seketika bening
di mataku terurai dan mengkristal begitu saja. Menetes seperti butiran kerikil.
Mengalir dan hanya sebutir. Tertahan oleh ngilu yang menggema dan mengganggu
setiap ruang tubuhku hingga tak terkira perihnya.
“Jadi di sinilah kau sekarang ayah?
Kau lebih memilih bersama ibu.”
***
Dulu, ibu kusebut aku. Kematian ibu
kuanggap kematianku. Kuburan ibu kumaknai kuburanku. Tapi sekarang kematianmu
serupa kiamat. Aku tak ingin berbicara kepada dunia lagi, sebab kau memang
mengajarkanku untuk diam.
Menarik sekali....saya menyukai
BalasHapuskeren cerpennya
BalasHapus