Minggu, 14 April 2013


Sesuap Nasi untuk Istriku
Andi Makkaraja:

Lelaki tua itu melempar bungkus rokoknya ke tanah. Tangannya kosong. Mungkin bungkus rokoknya juga kosong. Ia lalu menyandarkan tubuhnya ke tembok. Pandangannya tertumpu pada satu objek. Matanya focus pada genangan air keruh dan berlumpur di depannya. Semenit, ia tak bergeming. Menit berikutnya, matanya masih menatap tajam. Tiga menit berselang, masih. Menit-menit berikutnya, ia masih betah. Kejadian itu bertahan selama kurang lebih lima belas menit. Tapi tak ada yang benar-benar tahu, apa ia memang melihat, sekedar menatap, atau tatapannya kosong tanpa proses pikir, atau mungkin juga tanpa kesadaran fisik. Aku justru melihatnya ia hanya seonggok daging, lengkap dengan tulangnya, tapi tanpa roh.
          Aku menyeruput secangkir kopi yang ku pesan tadi. Aku jadi bosan dengan pak tua itu. Aku tak memperhatikannya lagi.
          Saat ketertarikanku kepadanya hamper hilang, ia lalu menggodaku kembali. Ia melintas di hadapanku. Menghampiri penjual nasi bungkus. Merogoh kantongnya lalu mengeluarkan dua lembar uang seribuan. Menyodorkannya ke penjual.
                   “Mau beli apa?” Si penjual setengah menggertak.
                   “Gado-gado satu bungkus.”
                   “Uangmu cukup?”
                   “Ini.”
                   “Apa itu?”
                   “Aku baru punya ini.Tiga ribunya aku bayar sebentar.”
                   “Tidak bisa.”
                   “Tolong.”
                   “Tidak.”
                   “Aku butuh ini. Tolong.”
                   “Kamu butuh makan, aku butuh uang. Kita sama-sama susah pak.”
                   “Selebihnya aku bayar sebentar.”
                   “Mau ambil uang dari mana? Hutangmu yang kemarin saja belum kau bayar.”
          Pak tua terdiam. Ia bungkam oleh pertanyaan si penjual pada akhir debat mereka. Ia meninggalkan penjual.   Langkahnya tertatih. Aku menyaksikan pembicaraan mereka dengan ketersinggungan luar biasa dan kemarahan yang membuncah-buncah. Ingin rasanya kulebamkan mulut penjual sombong itu dengan pukulanku. Sementara itu, pak tua semakin jauh. Kepalanya yang menunduk kian menegaskan tubuhnya yang bungkuk, rapuh, dan renta oleh waktu. Ia menghilang di balik tembok.
          Aku memesan dua bungkus gado-gado. Bukan pada penjual yang tadi, tapi pada penjual di sampingnya. Aku muak dengannya. Kusodorkan selembar lima ribuan dan selembar dua ribuan. Lebih murah. Kumasukkan bungkusan itu ke dalam ranselku lalu berjalan mengikuti langkah pak tua. Aku menikung di balik tembok tempat ia menghilang tadi. Mataku liar mencari-cari. Aku melihatnya terbaring lemas di atas kursi yang panjang, tepat di bawah pohon berukuran lumayan besar. Matanya meraba-raba dan mungkin berusaha membacaku. Aku duduk di dekatnya. Ia masih terbaring dan diam.
                   “Ini pak. Aku beli dua. Satu untuk bapak dan satu untuk aku.” Kataku sambil menyodorkan sebungkus gado-gado.
Ia menatapku sejenak, tapi dengan sorot mata lebihbaik.
                   “Ini pak. Ambillah!”
                   “Terimakasih.” Ucapnya sambil meraih bungkusan itu dari tanganku. Dengan senyum lalu kembali diam. Aku membuka bungkusan gado-gadoku dan menyantapnya. Tapi pak tua tetap diam. Memangku bungkusan makanannya. Sama sekali tidak ada tanda-tanda ia akan membukanya.
                   “Kenapa gado-gadonya tidak dimakan pak? Mari kita makan bersama.” Ajakku.
                   “Tidak ada apa-apa.” Jawabnya lalu kembali diam.
                   “Lho, bukannya bapak lapar?”
                   “Iya.”
                   “Lalu kenapa tidak dimakan?”
                   “Sebentar. Aku mau tidur dulu.”
Aku terdiam. Pak tua terdiam. Ia kembali berbaring. Memeluk bungkusan itu dan tidur.

****

          Beberapa hari berikutnya. Seperti biasa, sepulang dari kampus, aku langsung naik angkot dan turun di terminal. Panas yang menyengat. Terminal sesak. Mobil saling bersenggolan, apa lagi manusia. Lahan yang bagus untuk para pengemis dan bocah-bocah pembersih mobil angkutan umum. Aku mencoba menjauh dari kumpulan mobil dan manusia itu. Duduk sendiri di bawah pohon. Tenggorokanku kering. Kuperiksa dompetku. Cuma ada lima ribu rupiah. Sepertinya hanya cukup untuk dua hari. Aku harus berhemat, maka the gelas menjadi pilihan paling realistisku. Lapar tak jadi soal, yang penting dahagaku bisa kuhilangkan.
          Saat the gelasku hanya tersisa seteguk, seseorang berjalan ke arahku. Tubuh yang membungkuk dan kulit yang telah mengeriput mengingatkanku tentang siapa ia.
                   “Assalamualaikum nak!” Sapanya dengan senyum sumringah. Pak tua yang tempo hari sangat lusuh dan kusut, kini Nampak lebih segar.
                   “Waalaikum salam pak! Mari duduk di sini.”
                   “Iya nak.” Ia lalu menyandarkan tubuh bungkuknya, sembari mengeluarkan sebuah bungkusan sedang dari kantong besar yang dibawanya.
                   “Ini nak, gado-gado. Pasti kamu lapar.”
                   “Ini apa pak?” Tanyaku heran.
                    “Sudah. Ambillah! Aku mau membalas budimu.”
                   “Bapak makan apa?”
                   “Masih ada dua bungkus lagi. Untuk bapak dan istri bapak.”
                   “Oh. Jadi bapak punya istri?”
                   “Iya. Dia menunggu bapak untuk membawa pulang makanan ini.”
                   “Oh gitu pak. Anak bapak mana? Kenapa bapak yang kerja? Kenapa bukan dia saja?” Tanyaku sambil menerima bungkusan makanan itu.
“Anak bapak sudah meninggal nak. Sekitar sebulan yang lalu, jadinya Cuma tinggal kami berdua.”
“Jadi bapak tinggal di mana?”
“Di sana?”
“Di sana mana pak?”
“Yah di sana. Kalau gitu bapak pamit dulu. Istri bapak sudah lama menunggu.”
“Iya pak. Makasih atas makanannya.”
“Iya nak. Assalamu alaikum.” Tutupnya lalu pergi.
“Waalaikum salam.”
          Aku lalu menyantap gado-gado itu, sementara itu pak tua berjalan meninggalkan terminal. Aku melihatnya berhenti di tepi jalan. Tampaknya ia ragu-ragu menyeberangi jalan. Aku masih melahap makananku. Tiba-tiba sebuah sepeda motor hilang kendali. Kencang dan melaju ke arah pak tua yang berdiri di tepi jalan. Tubuh yang renta dan tua itu terserempek tepat di ujung mataku. Makanan di mulutku seketika menghambar dan kuhamburkan keluar . Aku berlari mendekati tubuh pak tua yang terkulai di atas tanah. Tubuhnya berlumuran darah. Bungkusan makanannya berserakan di mana-mana. Sekilas dari seberang jalan, aku melihat seorang perempuan tua berteriak histeris dari dalam kardus yang disusun menyerupai gubuk.
                   “Bapak……..!!!!!!!!” Tangisnya pecah dalam teriakan dan tubuh kakunya.
Herlang, 27 Maret 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar