Jumat, 14 Juni 2013

Sebuah Elegi



Sebuah Elegi
Andi Makkaraja:

          Seseorang melambaikan tangan ke arahku sambil setengah meneriakkan namaku. Aku menoleh dan melihatnya duduk santai di bawah pohon mangga, tepatnya di atas sebuah kursi kecil setengah jadi. Aku menyebutnya setengah jadi karena kursi itu dibuat tanpa sandaran. Ia melambaikan tangannya, bermaksud memanggilku untuk merapat ke sisinya.
          “Kamu dari mana nak?” Segera ia membuka dialog setelah aku berada di dekatnya. Asap rokok menyembur dari mulutnya. Aku mengipas-ngipaskan tangan untuk mengusir asap rokok tersebut.
          “Dari toko Pak Rahmat beli obat. Disuruh sama bapak.”
          “Memangnya bapak kamu sakit?”
          “Iya om, sakit kepala ringan. Sebentar yah om, aku langsung ke rumah dulu. Sudah ditunggu bapak dari tadi.”
          “Iya nak!” Balasnya singkat.
 Aku senang sekaligus heran atas sikap Om Jafar hari ini. Tak seperti biasanya yang lebih suka diam dan hanya merespon orang-orang dengan anggukan dan gelengan kepala pertanda, ya atau tidak. Aku melangkah sepuluh meter, dua puluh meter, hingga tatapanku yang terakhir sebelum aku menghilang di balik belokan, ada binar cerah di matanya.
          Berselang beberapa menit kemudian aku kembali lagi menemuinya. Ia masih setia duduk sendiri di bawah pohon mangga tadi, tentunya dengan selinting rokok di ujung bibirnya. Kali ini aku membawakannya secangkir kopi, minuman kesukaannya. Jika saja ada pemilihan penggila kopi dan rokok terbaik, maka dengan keyakinan sempurna aku akan bertaruh untuknya, berapa pun itu. Orang sekampung juga telah menghapal kebiasaannya yang lebih mengutamakan kopi dan rokok dibanding makanan, maka ketika Om Jafar datang atau sekedar berkunjung ke rumah-rumah mereka, kopi selalu jadi menu spesial untuknya. Hitam pekat dengan sedikit gula.
          “Kamu datang lagi nak menemani om.”
          “Iya om. Sesuai yang aku janjikan tadi. Ini om aku bawakan kopi.”
          “ Terima kasih banyak nak. Pagi ini aku memang belum minum kopi.”
Om Jafar menyeruput teguk demi teguk kopi itu. Tampak betul bahwa meminum kopi adalah kesukaannya, apalagi jika dipadu dengan sebatang rokok, maka kesempurnaan hidup sepertinya terwakilkan dalam racikan aroma sederhana dan tradisional itu, setidaknya sempurna untuk ukuran orang seperti Om Jafar.
          Pagi itu Om Jafar bercerita banyak tentang hidupnya. Dimulai dari petualangannya merantau ke banyak negeri orang, termasuk Malaysia. Ia bercerita tentang berbagai pengalaman hidupnya, dimulai dari tanah pertama yang diinjaknya ketika meninggalkan kampung, yaitu Pulau Sumatera, sampai perantauan terakhirnya di negeri jiran. Ia juga bercerita tentang kejadian-kejadian yang sempat dialaminya. Orang-orang yang pernah berkawan baik atau pun sempat berkonflik dengannya tak luput dari ceritanya. Saat itu aku menjadi pendengar yang baik atas cerita-ceritanya. “Ingatan Om Jafar masih kuat.” Gumamku dalam hati. Ceritanya berakhir pada tegukan terakhir kopinya lalu ia meminta izin untuk tidur. Aku mengiyakan. Ia pun melangkah meninggalkanku. Aku melihat binar di matanya semakin cerah.
          Selepas Om Jafar kabur dari pandanganku, aku tiba-tiba merasa ada yang kurang dari ceritanya. Tak sedikit pun dari rangkaian ceritanya itu yang menyinggung sosok seorang perempuan. “Apa iya dari rantauan Om Jafar di negeri orang dengan waktu yang cukup lama, ia tak pernah jatuh hati atau sekedar suka kepada seorang perempuan.” Pikirku dalam hati.
****
          Hari ini tepat seminggu aku tak melihat Om Jafar. Biasanya setiap pagi dalam dua atau tiga hari ia selalu berkunjung ke rumahku. Om Jafar adalah sepupu dari ibuku, orang tua mereka saudara kandung, jadi rumahku adalah rumah Om Jafar juga dan akan sangat aneh jika ia tak menginjakkan kaki di sini dalam waktu yang agak lama.
Aku menanyakannya kepada ibu dan bapak tapi tak ada yang benar-benar tahu. Mereka hanya berandai-andai. “Mungkin dia ada di rumah nenek kamu karena selama ini dia tinggal di sana, atau mungkin dia ikut orang lain untuk mencari kerja seperti yang sering dilakukannya selama ini, mungkin juga dia tidak enak badan sehingga harus terus beristirahat di rumah nenekmu.” Dan serangkaian mungkin-mungkin lainnya yang membuatku semakin bingung. Untuk memuaskan rasa penasaran, saat itu juga aku datang ke rumah nenek, tempat Om Jafar tinggal selama ini. Sama seperti ibu dan bapak, nenek juga tidak tahu ke mana Om Jafar pergi.
          “Sudah. Tidak usah khawatir. Dia memang sering seperti itu. Kalau tiba saatnya atau kalau dia rindu dengan rumah, dia pasti akan pulang juga.”
          “Tapi ini sudah lama nek, satu minggu.”
          “Yah, kita tunggu saja. Dia pasti akan pulang.” Kata nenek yakin yang juga sedikit melegakan perasaanku. 
***
          Aku pernah bertanya kepada ibu tentang sikap Om Jafar yang selalu murung. Kata ibu, Om Jafar memang orangnya seperti itu, tapi salah satu sikapnya yang tidak suka bicara bertambah parah ketika ibu dan saudara perempuannya meninggal dunia dalam waktu yang hampir bersamaan. Om Jafar punya adik laki-laki tapi sudah puluhan tahun mereka tidak pernah bertemu. Terakhir bertemu ketika mereka masih tinggal serumah dalam perantauan di Sumatera. Om Jafar memutuskan meninggalkan adiknya dan pergi ke Malaysia karena hubungan mereka tidak akur lagi. Sementara itu bapaknya sudah lama meninggal dunia. Ditambah dengan kesendiriannya dalam usia 40 tahun lebih, maka akan sangat wajar dan mudah dipahami jika sikap Om Jafar memang lebih banyak diam dan murung. Lirikan matanya yang penuh binar cerah dan canda tawa lepas beberapa hari lalu terlintas lagi di pikiranku. “Itukah Om Jafar yang sebenarnya?”
****

          Adzan shalat jum’at berkumandang. Aku menghentikan laju motorku dan memarkirnya di halaman mesjid. Keinginan untuk melaksanakan shalat jum’at di kampung halaman sepertinya harus kutunda dulu sampai jum’at depan. Aku meletakkan tas berisi buku-buku kuliahku di teras mesjid itu lalu melangkah ke tempat wudhu. Aku membasuh seluruh tubuh dengan air sebelum melangkah ke dalam mesjid dan melaksanakan shalat jum’at secara berjamaah. Di dalam mesjid aku bertemu dengan Om Jafar. Matanya tak secerah beberapa hari lalu, tapi wajahnya menyinarkan sesuatu. Aku melangkah mendekatinya dan duduk di sampingnya. Ia baru menyadari kedatanganku ketika ia selesai shalat.
          “Om ke mana aja?” Tanyaku berbisik.
          “Om tinggal di desa ini nak.” Jawabnya dengan senyum merekah. Mungkin ia juga senang melihatku.
          “Tinggal sama siapa?”
          “Om kerja jadi kuli bangunan, jadi om tinggal di rumah orang yang mempekerjakan om.”
          “Kenapa om tidak pernah pulang? Ibu, bapak, dan nenek mengkhawatirkan om.”
          “Om tidak bisa pulang nak sampai pekerjaan om selesai.”
          “Tapi om kan bisa ngasih kabar.”
          “Bagaimana caranya? Om tidak pernah ketemu dengan orang sekampung.”
Seorang jemaah memberi isyarat kepada kami untuk mengecilkan suara. Pembicaraan kami tertunda. Khatib naik ke mimbar untuk mulai berkhotbah. Suasana mesjid pun menjadi lebih khidmat, semua jemaah diam, termasuk aku dan Om Jafar.
Setelah selesai melaksanakan shalat jum’at, aku pamit kepada Om Jafar untuk pulang ke rumah, sementara itu ia beranjak ke tempat kerjanya.
****
          Beberapa hari berikutnya, aku menemukan Om Jafar di bawah pohon mangga, tempat di mana ia sering duduk sendiri. Ia melihatku tapi tak memanggilku, aku lalu berinisiatif sendiri untuk mendekat ke arahnya. Ketika berada lebih dekat, ia melirikku sejenak sebelum menumbukkan pendangannya pada tanah kosong di depannya. Tatapannya kosong, bahkan nyaris tanpa kedipan. Mulutnya bisu. Ia hanya tertunduk. Tubuh kurusnya dan rambut gonrongnya kelihatan lusuh. Gersang, tanpa kehidupan.
          “Sudah lama pulangnya om?” Aku bertanya sekedar berbasa-basi untuk memancing ceritanya. Tapi ia hanya menjawabku dengan anggukan kepala. Pelan, pelan, dan pelan lalu kembali diam. Mulutnya terkunci rapat dan hanya terbuka jika lintingan rokoknya dijepitnya di antara kedua bibirnya, bukan untuk bicara. Aku tak melihat ada kopi di dekatnya. Aku pulang ke rumah lalu kembali lagi dengan secangkir kopi. Ia segera meminum kopi itu. Seteguk kopi ternyata hanya mengantarkannya untuk diam. Aku bergumam, ini bukan Om Jafar yang tempo hari duduk bersamaku di tempat ini atau mungkin memang seperti inilah Om Jafar, tapi siapa yang dulu duduk bersamaku di sini? Sepertinya hal-hal yang selalu mengganggu pikiran Om Jafar selama ini kembali lagi dan membuatnya menjadi manusia tampa bicara, tanpa ekspresi, dan tanpa senyum.
          Esoknya, aku harus kembali ke kota untuk melanjutkan kuliah. Untuk pertama kalinya aku merasa sangat berat meninggalkan Om Jafar. Sebelum berangkat, aku menemuinya di bawah pohon mangga. Aku membawakannya dua bungkus rokok dan sebuah telepon genggam sederhana. Bekas teleponku yang masih bagus sampai sekarang. Aku sengaja menyiapkannya untuk Om Jafar agar ia bisa memberikan kabar kepada ibu atau bapak jika pergi lagi dan juga untuk mengusir rasa sepinya karena walaupun sederhana, telepon genggam itu bisa dipakai untuk memutar lagu. Aku lalu mengajarinya cara menggunakan handphone itu. Ia menyimak kata-kataku dan sebuah senyum terlukis di wajahnya. Kembali binar cerah menghiasi matanya.
***
          Dua bulan kemudian, aku kembali ke kampung. Belum sejam aku mengistirahatkan tubuhku setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, aku langsung meminta izin ibu untuk menemui Om Jafar. Aku tidak bisa tenang sebelum menemuinya. Kata ibu, sejak kemarin Om Jafar tinggal dan bermalam di kebun nenek. Ia membantu nenek menjaga kebun jagungnya dari gangguan babi hutan.
          Aku berada di tengah kebun itu. Aku berteriak memanggil Om jafar tapi tak ada jawaban, hingga aku sampai di sebuah pondok kecil yang ada di kebun itu. Suasananya dingin dan mencekam. Di dalam pondok itu ada juntaian kaku sepasang kaki, pucat. Darah dan jantungku tergerak tanpa kontrol. Aku melompat ke dalam. Tubuh Om Jafar tergantung di dalam pondok itu. Lilitan tali mencekik lehernya. Aku segera melepaskan tali itu dan menurunkan lalu membaringkan tubuhnya. Aku memeluk tubuhnya. Tubuh jangkung dan kurus itu mengeluarkan hawa dingin, sangat dingin. Air di mataku mengalir dan menetesi wajahnya yang keriput. Aku membelai rambutnya sambil terus menangis. Handphone di kantong bajunya masih terus melagu, menyanyikan lagu kenangan. Aku mengeluarkan handphone itu. Sebuah pesan singkat yang gagal terkirim, atas namaku.
                                      “NAK, KAPAN KAMU PULANG?”
                                      APA KAMU JUGA INGIN
                                      MEMBIARKANKU SENDIRI?”
                                     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar