Jumat, 19 April 2013

Deja Vu


DEJA VU
Andi Makkaraja:

Hujan menangis. Seperti itulah aku memikirkan hujan kali ini. Derasnya menumpah tepat beberapa detik setelah aku dan orang-orang menguburkan diriku dalam liang yang tanahnya kini menjadi becek dan berair. Mungkin besok dan nanti tak ada hari lagi sebab hujan kali ini betul-betul merampas hak matahari dan menjadikannya tanpa wujud. Hilang serupa malam. Aku menyaksikan kuburanku sendiri. Air keluar dari setiap sisinya. Mungkin tanah di atasku itu yang kini telah mencair tak kuat menampung jutaan volume air yang terus mengalirinya, atau mungkin ia juga menangis?
Tak cukup dengan air langit yang terus membumi, suara yang penuh dengan nada samar datang beriringan dengannya. Aku tak mengerti apa yang dibunyikannya atau yang ingin dikatakannya, tapi suatu masa aku menangkap bunyi sirine mobil pengantar jenazah terselip di antara raungannya. Aku mengabari diriku tentangnya, ia pun berduka.
Aku menyudutkan tubuh pada tepi kamar. Ingin kukutuk air yang terus menghujaniku dan petir yang terus meneriakiku.

***
            Seseorang menghampiriku. Mataku yang sembab tak mengenalinya. Seperti kanvas yang tak tersentuh kuas, wajahnya putih dan kosong. Aku tak menemukan sedikit goresan di sana. Betul-betul kaku dan dingin. Berikutnya, dari jarak yang tidak begitu jauh dan tidak begitu dekat dari mataku, terlihat wajahnya mulai bercerita. Bibirnya digerak-gerakkan seperti ingin melafalkan sesuatu, tapi telinga dan mataku tak mampu menerjamahkannya. Aku kalap.

***

            Aku merasakan tubuhku membatu. Beku. Gemetar menahan dingin. Tulangku terasa nyeri seperti tertusuk-tusuk duri. Pori-poriku mengeluarkan air, tapi aku merasaknnya panas. Keringat panas.
            Beberapa jam lamanya, aku tetap dengan keadaan itu, terbaring kaku. Aku mulai menghapal kejadian-kejadian sama yang selalu berulang setiap jam-nya di ruangan beukuran sedang dan putih itu.  Aku juga mulai menghapal wajah-wajah yang selalu datang bergiliran menemaniku. Aku tak bisa mengingat jumlahnya tapi mereka semua serupa. Berambut panjang dan indah, berwajah cerah dengan mata dan bibir selalu tersenyum, potongan baju mereka pun selalu sama dan semuanya berwarna putih bersih.

***

            Tubuhku terbentur di sudut kursi. Seseorang melemparku dengan keras ke dalam ruangan yang lebih pantas di sebut neraka. Atau mungkin memang inilah neraka yang sering disebut-sebut para penceramah dalam dakwahnya. Mungkin tempat ini sudah menjadi neraka jauh sebelum aku menamainya neraka dan berada di dalamnya. Pengap dan gelap.
            Aku mencium bau keringat dan bukan dari tubuhku. Mungkin ada orang lain di tempat ini. Aku meraba-raba sisi tembok yang kasar dan gelap itu.
            “Siapa di sana?” Teriakku. Suaraku terpantul dan menanyaiku balik dengan pertanyaan yang sama. Aku mengulang kembali enam sampai delapan kali tapi tetap tak ada jawaban.
            “Weh bocah sialan, hentikan! Telingaku sakit mendengar suaramu.” Seseorang menggertakku dari luar. Penjaga ruangan ini.
            “Siapa yang kau sebut bocah? Dasar kacung tolol.”
            “Apa? Kau memanggilku kacung?” Suaranya meninggi.
            “Iya kacung! Kenapa?”
            “Coba kau ulang sekali lagi!”
            “K A – C U N G!!!”
            Wajahnya memerah. Matanya melotot tajam. Napasnya tersengal-sengal. Nampaknya ia betul-betul ingin menelanku bulat-bulat. Ia lalu duduk kembali, setelah sempat bediri tegang. Aku merasa menang.

***

            Sebelumnya. Di ruangan putih.
            Empat orang berpakaian rapi datang mengerumuniku. Kali ini aku melihat seorang yang beda di antara mereka. Tak berambut panjang dan indah, tak bertubuh anggun, dan tak berwajah cerah seperti yang lainnya. Ia justru bertubuh gempal, berkulit agak gelap, dan aku tahu ia seorang lelaki. Ia menyunggingkan senyum ke arahku. Samar-samar aku mendengar ia membisikkan sesuatu kepada salah seorang rekannya. Perempuan itu lalu beranjak pergi dan kembali dengan beberapa benda asing di tangannya. Aku mengamati mereka dengan mata bergerak-gerak ke sana kemari. Lelaki gempal itu terlihat membisikkan sesuatu lagi, tapi kali ini bukan hanya kepada perempuan tadi, tetapi juga kepada dua rekannya yang lain. Sepertinya ada kesepakatan di antara mereka. Ketiga perempuan itu lalu merapat ke arahku. Salah seorang di antara mereka mengutak-atik tempat tidurku. Beberapa selang kemudian mereka mendorong tempat tidurku dan membawaku pergi.
            “Tinggalkan aku sendiri. Biarkan aku di sini. Jangan membawaku pergi.” Aku meronta. Aku tak ingin meninggalkan ruangan putih itu. Mereka tak mempedulikan kata-kataku. Mereka tak mempedulikanku. Seperti singa yang nyaris kehilangan akal karena tertarik kemolekan rusa yang menari di depannya, aku dengan gila menerkam salah seorang di antara mereka. Kemarahan membuatku lupa diri dan tak mengingat semua kejadian setelah itu, sampai seseorang menyeretku ke sebuah ruangan yang kunamai neraka.

***

            “Pergi sana. Kami tak tahan dengan tingkahmu. Anjing!” Gerutu penjaga neraka yang tiap harinya beradu mulut denganku.
            Aku tersenyum puas. Terbebas dari neraka yang selama ini menyangkarku. Neraka pun menyerah kepadaku.

***

Esoknya.
            Aku tiba di tempat yang kusebut surga. Kuketuk pintunya. Berkali-kali, tak ada jawaban. Aku teringat, aku pernah menyimpan kuncinya di bawah pot bunga. Kugeledah dasar pot itu dan aku menemukan yang kucari. Segera kubuka pintunya. Suasana lengang, sunyi, dan berdebu menyambutku.
            “Ayah!”
            “Ayah! Aku pulang.” Aku terus memanggil ayah dan berjalan ke setiap sisi rumah itu. Semua tempat kosong dan akhirnya aku sampai di depan kamarku. Aku membuka pintunya dan kenangan tentang aku, ibu, dan ayah kembali memutar di otakku. Dari balik jendela yang tingginya tak seberapa, aku melihat dua buah batu nisan saling berdampingan. Aku tak mengenali gundukan tanah di sebelah kuburan ibu. Aku melangkah ke pojok kamar hingga berdiri tepat di muka jendela. Tulisan di nisan itu pun semakin jelas. Aku mengejanya, I-S-M-A-I-L.
Seketika bening di mataku terurai dan mengkristal begitu saja. Menetes seperti butiran kerikil. Mengalir dan hanya sebutir. Tertahan oleh ngilu yang menggema dan mengganggu setiap ruang tubuhku hingga tak terkira perihnya.
            “Jadi di sinilah kau sekarang ayah? Kau lebih memilih bersama ibu.”

***

            Dulu, ibu kusebut aku. Kematian ibu kuanggap kematianku. Kuburan ibu kumaknai kuburanku. Tapi sekarang kematianmu serupa kiamat. Aku tak ingin berbicara kepada dunia lagi, sebab kau memang mengajarkanku untuk diam.

Senin, 15 April 2013

Cerpen Andi Makkaraja


Sesuap Nasi untuk Istriku
Andi Makkaraja:

Lelaki tua itu melempar bungkus rokoknya ke tanah. Tangannya kosong. Mungkin bungkus rokoknya juga kosong. Ia lalu menyandarkan tubuhnya ke tembok. Pandangannya tertumpu pada satu objek. Matanya focus pada genangan air keruh dan berlumpur di depannya. Semenit, ia tak bergeming. Menit berikutnya, matanya masih menatap tajam. Tiga menit berselang, masih. Menit-menit berikutnya, ia masih betah. Kejadian itu bertahan selama kurang lebih lima belas menit. Tapi tak ada yang benar-benar tahu, apa ia memang melihat, sekedar menatap, atau tatapannya kosong tanpa proses pikir, atau mungkin juga tanpa kesadaran fisik. Aku justru melihatnya ia hanya seonggok daging, lengkap dengan tulangnya, tapi tanpa roh.
          Aku menyeruput secangkir kopi yang ku pesan tadi. Aku jadi bosan dengan pak tua itu. Aku tak memperhatikannya lagi.
          Saat ketertarikanku kepadanya hamper hilang, ia lalu menggodaku kembali. Ia melintas di hadapanku. Menghampiri penjual nasi bungkus. Merogoh kantongnya lalu mengeluarkan dua lembar uang seribuan. Menyodorkannya ke penjual.
                   “Mau beli apa?” Si penjual setengah menggertak.
                   “Gado-gado satu bungkus.”
                   “Uangmu cukup?”
                   “Ini.”
                   “Apa itu?”
                   “Aku baru punya ini.Tiga ribunya aku bayar sebentar.”
                   “Tidak bisa.”
                   “Tolong.”
                   “Tidak.”
                   “Aku butuh ini. Tolong.”
                   “Kamu butuh makan, aku butuh uang. Kita sama-sama susah pak.”
                   “Selebihnya aku bayar sebentar.”
                   “Mau ambil uang dari mana? Hutangmu yang kemarin saja belum kau bayar.”
          Pak tua terdiam. Ia bungkam oleh pertanyaan si penjual pada akhir debat mereka. Ia meninggalkan penjual.   Langkahnya tertatih. Aku menyaksikan pembicaraan mereka dengan ketersinggungan luar biasa dan kemarahan yang membuncah-buncah. Ingin rasanya kulebamkan mulut penjual sombong itu dengan pukulanku. Sementara itu, pak tua semakin jauh. Kepalanya yang menunduk kian menegaskan tubuhnya yang bungkuk, rapuh, dan renta oleh waktu. Ia menghilang di balik tembok.
          Aku memesan dua bungkus gado-gado. Bukan pada penjual yang tadi, tapi pada penjual di sampingnya. Aku muak dengannya. Kusodorkan selembar lima ribuan dan selembar dua ribuan. Lebih murah. Kumasukkan bungkusan itu ke dalam ranselku lalu berjalan mengikuti langkah pak tua. Aku menikung di balik tembok tempat ia menghilang tadi. Mataku liar mencari-cari. Aku melihatnya terbaring lemas di atas kursi yang panjang, tepat di bawah pohon berukuran lumayan besar. Matanya meraba-raba dan mungkin berusaha membacaku. Aku duduk di dekatnya. Ia masih terbaring dan diam.
                   “Ini pak. Aku beli dua. Satu untuk bapak dan satu untuk aku.” Kataku sambil menyodorkan sebungkus gado-gado.
Ia menatapku sejenak, tapi dengan sorot mata lebihbaik.
                   “Ini pak. Ambillah!”
                   “Terimakasih.” Ucapnya sambil meraih bungkusan itu dari tanganku. Dengan senyum lalu kembali diam. Aku membuka bungkusan gado-gadoku dan menyantapnya. Tapi pak tua tetap diam. Memangku bungkusan makanannya. Sama sekali tidak ada tanda-tanda ia akan membukanya.
                   “Kenapa gado-gadonya tidak dimakan pak? Mari kita makan bersama.” Ajakku.
                   “Tidak ada apa-apa.” Jawabnya lalu kembali diam.
                   “Lho, bukannya bapak lapar?”
                   “Iya.”
                   “Lalu kenapa tidak dimakan?”
                   “Sebentar. Aku mau tidur dulu.”
Aku terdiam. Pak tua terdiam. Ia kembali berbaring. Memeluk bungkusan itu dan tidur.

****

          Beberapa hari berikutnya. Seperti biasa, sepulang dari kampus, aku langsung naik angkot dan turun di terminal. Panas yang menyengat. Terminal sesak. Mobil saling bersenggolan, apa lagi manusia. Lahan yang bagus untuk para pengemis dan bocah-bocah pembersih mobil angkutan umum. Aku mencoba menjauh dari kumpulan mobil dan manusia itu. Duduk sendiri di bawah pohon. Tenggorokanku kering. Kuperiksa dompetku. Cuma ada lima ribu rupiah. Sepertinya hanya cukup untuk dua hari. Aku harus berhemat, maka the gelas menjadi pilihan paling realistisku. Lapar tak jadi soal, yang penting dahagaku bisa kuhilangkan.
          Saat the gelasku hanya tersisa seteguk, seseorang berjalan ke arahku. Tubuh yang membungkuk dan kulit yang telah mengeriput mengingatkanku tentang siapa ia.
                   “Assalamualaikum nak!” Sapanya dengan senyum sumringah. Pak tua yang tempo hari sangat lusuh dan kusut, kini Nampak lebih segar.
                   “Waalaikum salam pak! Mari duduk di sini.”
                   “Iya nak.” Ia lalu menyandarkan tubuh bungkuknya, sembari mengeluarkan sebuah bungkusan sedang dari kantong besar yang dibawanya.
                   “Ini nak, gado-gado. Pasti kamu lapar.”
                   “Ini apa pak?” Tanyaku heran.
                    “Sudah. Ambillah! Aku mau membalas budimu.”
                   “Bapak makan apa?”
                   “Masih ada dua bungkus lagi. Untuk bapak dan istri bapak.”
                   “Oh. Jadi bapak punya istri?”
                   “Iya. Dia menunggu bapak untuk membawa pulang makanan ini.”
                   “Oh gitu pak. Anak bapak mana? Kenapa bapak yang kerja? Kenapa bukan dia saja?” Tanyaku sambil menerima bungkusan makanan itu.
“Anak bapak sudah meninggal nak. Sekitar sebulan yang lalu, jadinya Cuma tinggal kami berdua.”
“Jadi bapak tinggal di mana?”
“Di sana?”
“Di sana mana pak?”
“Yah di sana. Kalau gitu bapak pamit dulu. Istri bapak sudah lama menunggu.”
“Iya pak. Makasih atas makanannya.”
“Iya nak. Assalamu alaikum.” Tutupnya lalu pergi.
“Waalaikum salam.”
          Aku lalu menyantap gado-gado itu, sementara itu pak tua berjalan meninggalkan terminal. Aku melihatnya berhenti di tepi jalan. Tampaknya ia ragu-ragu menyeberangi jalan. Aku masih melahap makananku. Tiba-tiba sebuah sepeda motor hilang kendali. Kencang dan melaju ke arah pak tua yang berdiri di tepi jalan. Tubuh yang renta dan tua itu terserempek tepat di ujung mataku. Makanan di mulutku seketika menghambar dan kuhamburkan keluar . Aku berlari mendekati tubuh pak tua yang terkulai di atas tanah. Tubuhnya berlumuran darah. Bungkusan makanannya berserakan di mana-mana. Sekilas dari seberang jalan, aku melihat seorang perempuan tua berteriak histeris dari dalam kardus yang disusun menyerupai gubuk.
                   “Bapak……..!!!!!!!!” Tangisnya pecah dalam teriakan dan tubuh kakunya.
Herlang, 27 Maret 2013

Minggu, 14 April 2013


Sesuap Nasi untuk Istriku
Andi Makkaraja:

Lelaki tua itu melempar bungkus rokoknya ke tanah. Tangannya kosong. Mungkin bungkus rokoknya juga kosong. Ia lalu menyandarkan tubuhnya ke tembok. Pandangannya tertumpu pada satu objek. Matanya focus pada genangan air keruh dan berlumpur di depannya. Semenit, ia tak bergeming. Menit berikutnya, matanya masih menatap tajam. Tiga menit berselang, masih. Menit-menit berikutnya, ia masih betah. Kejadian itu bertahan selama kurang lebih lima belas menit. Tapi tak ada yang benar-benar tahu, apa ia memang melihat, sekedar menatap, atau tatapannya kosong tanpa proses pikir, atau mungkin juga tanpa kesadaran fisik. Aku justru melihatnya ia hanya seonggok daging, lengkap dengan tulangnya, tapi tanpa roh.
          Aku menyeruput secangkir kopi yang ku pesan tadi. Aku jadi bosan dengan pak tua itu. Aku tak memperhatikannya lagi.
          Saat ketertarikanku kepadanya hamper hilang, ia lalu menggodaku kembali. Ia melintas di hadapanku. Menghampiri penjual nasi bungkus. Merogoh kantongnya lalu mengeluarkan dua lembar uang seribuan. Menyodorkannya ke penjual.
                   “Mau beli apa?” Si penjual setengah menggertak.
                   “Gado-gado satu bungkus.”
                   “Uangmu cukup?”
                   “Ini.”
                   “Apa itu?”
                   “Aku baru punya ini.Tiga ribunya aku bayar sebentar.”
                   “Tidak bisa.”
                   “Tolong.”
                   “Tidak.”
                   “Aku butuh ini. Tolong.”
                   “Kamu butuh makan, aku butuh uang. Kita sama-sama susah pak.”
                   “Selebihnya aku bayar sebentar.”
                   “Mau ambil uang dari mana? Hutangmu yang kemarin saja belum kau bayar.”
          Pak tua terdiam. Ia bungkam oleh pertanyaan si penjual pada akhir debat mereka. Ia meninggalkan penjual.   Langkahnya tertatih. Aku menyaksikan pembicaraan mereka dengan ketersinggungan luar biasa dan kemarahan yang membuncah-buncah. Ingin rasanya kulebamkan mulut penjual sombong itu dengan pukulanku. Sementara itu, pak tua semakin jauh. Kepalanya yang menunduk kian menegaskan tubuhnya yang bungkuk, rapuh, dan renta oleh waktu. Ia menghilang di balik tembok.
          Aku memesan dua bungkus gado-gado. Bukan pada penjual yang tadi, tapi pada penjual di sampingnya. Aku muak dengannya. Kusodorkan selembar lima ribuan dan selembar dua ribuan. Lebih murah. Kumasukkan bungkusan itu ke dalam ranselku lalu berjalan mengikuti langkah pak tua. Aku menikung di balik tembok tempat ia menghilang tadi. Mataku liar mencari-cari. Aku melihatnya terbaring lemas di atas kursi yang panjang, tepat di bawah pohon berukuran lumayan besar. Matanya meraba-raba dan mungkin berusaha membacaku. Aku duduk di dekatnya. Ia masih terbaring dan diam.
                   “Ini pak. Aku beli dua. Satu untuk bapak dan satu untuk aku.” Kataku sambil menyodorkan sebungkus gado-gado.
Ia menatapku sejenak, tapi dengan sorot mata lebihbaik.
                   “Ini pak. Ambillah!”
                   “Terimakasih.” Ucapnya sambil meraih bungkusan itu dari tanganku. Dengan senyum lalu kembali diam. Aku membuka bungkusan gado-gadoku dan menyantapnya. Tapi pak tua tetap diam. Memangku bungkusan makanannya. Sama sekali tidak ada tanda-tanda ia akan membukanya.
                   “Kenapa gado-gadonya tidak dimakan pak? Mari kita makan bersama.” Ajakku.
                   “Tidak ada apa-apa.” Jawabnya lalu kembali diam.
                   “Lho, bukannya bapak lapar?”
                   “Iya.”
                   “Lalu kenapa tidak dimakan?”
                   “Sebentar. Aku mau tidur dulu.”
Aku terdiam. Pak tua terdiam. Ia kembali berbaring. Memeluk bungkusan itu dan tidur.

****

          Beberapa hari berikutnya. Seperti biasa, sepulang dari kampus, aku langsung naik angkot dan turun di terminal. Panas yang menyengat. Terminal sesak. Mobil saling bersenggolan, apa lagi manusia. Lahan yang bagus untuk para pengemis dan bocah-bocah pembersih mobil angkutan umum. Aku mencoba menjauh dari kumpulan mobil dan manusia itu. Duduk sendiri di bawah pohon. Tenggorokanku kering. Kuperiksa dompetku. Cuma ada lima ribu rupiah. Sepertinya hanya cukup untuk dua hari. Aku harus berhemat, maka the gelas menjadi pilihan paling realistisku. Lapar tak jadi soal, yang penting dahagaku bisa kuhilangkan.
          Saat the gelasku hanya tersisa seteguk, seseorang berjalan ke arahku. Tubuh yang membungkuk dan kulit yang telah mengeriput mengingatkanku tentang siapa ia.
                   “Assalamualaikum nak!” Sapanya dengan senyum sumringah. Pak tua yang tempo hari sangat lusuh dan kusut, kini Nampak lebih segar.
                   “Waalaikum salam pak! Mari duduk di sini.”
                   “Iya nak.” Ia lalu menyandarkan tubuh bungkuknya, sembari mengeluarkan sebuah bungkusan sedang dari kantong besar yang dibawanya.
                   “Ini nak, gado-gado. Pasti kamu lapar.”
                   “Ini apa pak?” Tanyaku heran.
                    “Sudah. Ambillah! Aku mau membalas budimu.”
                   “Bapak makan apa?”
                   “Masih ada dua bungkus lagi. Untuk bapak dan istri bapak.”
                   “Oh. Jadi bapak punya istri?”
                   “Iya. Dia menunggu bapak untuk membawa pulang makanan ini.”
                   “Oh gitu pak. Anak bapak mana? Kenapa bapak yang kerja? Kenapa bukan dia saja?” Tanyaku sambil menerima bungkusan makanan itu.
“Anak bapak sudah meninggal nak. Sekitar sebulan yang lalu, jadinya Cuma tinggal kami berdua.”
“Jadi bapak tinggal di mana?”
“Di sana?”
“Di sana mana pak?”
“Yah di sana. Kalau gitu bapak pamit dulu. Istri bapak sudah lama menunggu.”
“Iya pak. Makasih atas makanannya.”
“Iya nak. Assalamu alaikum.” Tutupnya lalu pergi.
“Waalaikum salam.”
          Aku lalu menyantap gado-gado itu, sementara itu pak tua berjalan meninggalkan terminal. Aku melihatnya berhenti di tepi jalan. Tampaknya ia ragu-ragu menyeberangi jalan. Aku masih melahap makananku. Tiba-tiba sebuah sepeda motor hilang kendali. Kencang dan melaju ke arah pak tua yang berdiri di tepi jalan. Tubuh yang renta dan tua itu terserempek tepat di ujung mataku. Makanan di mulutku seketika menghambar dan kuhamburkan keluar . Aku berlari mendekati tubuh pak tua yang terkulai di atas tanah. Tubuhnya berlumuran darah. Bungkusan makanannya berserakan di mana-mana. Sekilas dari seberang jalan, aku melihat seorang perempuan tua berteriak histeris dari dalam kardus yang disusun menyerupai gubuk.
                   “Bapak……..!!!!!!!!” Tangisnya pecah dalam teriakan dan tubuh kakunya.
Herlang, 27 Maret 2013