Jumat, 01 November 2013



Aku dan Puisi, Sendiri
          Sebuah kotak kecil berbentuk segi empat. Di dalamnya terdapat sebuah coretan hitam tanpa makna, tanpa arti, dan beku. Aku ingin menyelesaikan coretan itu dengan menambahkan bebrapa garis dan titik agar lebih bermakna dan mampu menyampaikan pesan bagi siapa saja yang melihatnya. Kadang pula aku ingin menghiasnya dengan tetesan-tetesan tinta berwarna-warni agar terkesan lebih hidup.Tapi, hingga aku kehabisan ide dan akihirnya memutuskan untuk mengakhirinya, kotak kecil itu tetap terisi dengan coretan semula yang tanpa arti.Tanpa sadar, aku telah mewakilkan gambaran pikiranku pada coretan-coretan itu. Carut-marut, tidak jelas, dan gelap. Serupa malam yang kini tengah memenjara dan menenggelamkanku pada renungan yang tak berkesudah.
***
          Esoknya, pagi-pagi buta aku terjaga dari tidurku. Setelah menuci muka, aku beranjak meninggalkan rumah saat dunia belum sepenuhnya terbangun. Ditemani sepeda butut peninggalan ayahku, aku membelah jalan desa yang selama ini kutinggali. Sejak dulu aku terbiasa sendiri karena memang aku lebih suka sendiri. Menurutku sendiri adalah bebas. Kita bebbas melakukan apa saja sat sendiri. Tak ada yang berkata suka atau tidak saat kita melakukan hal aneh. Tak ada yang berkata boleh atau tidak saat kita melakukannya. Tak ada protes. Semuanya berjalan sepenuhnya dengan kendali kita. Pokoknya sendiri adalah bebas. Pernah sekali, aku harus rela dikatai homo oleh teman-teman sekolahku saat masih SMA dulu hanya karena aku tak pernah tertarik berpacaran. Maka pagi ini, akau pun sendiri menembus dinginnya pagi.
          Aku masih mengayuh sepeda ketika matahari perlahan muncul dan meronrong dunia dari lelap. Di balik pantulan sinar matahari yang membentuk siluet, aku melihat bayangan tubuhku dengan gambaran lain dan asing.Bayangan itu seolah-olah membawaku ke dunia lain. Aku mendapati diriku tidak seperti adanya. Semuanya jelas terlihat berbeda hingga aku menyadari bahwa selama ini aku hidup bukan dengan diriku. Ada jiwa lain yang kini sedang bermain-main denganku. Tampaknya aku masih belum lepas dari renungan semalam. Pikiranku masih kacau.

          “Oeeeeeeeeeeeee………….” Teriakku ketika sampai pada sebuah lembah dan matahri tampak jelas di seberangnya. Tak ada respon. Bahkan nyanyian angin dan alam pun tak terdengar. Aku tersenyum lebar karena semakin meyakini diriku lebih merasa nyaman saat sendiri, bahkan tanpa alam sekalipun seperti sekarang. Aku teringat, sekitar lima tahun yang lalu aku pernah ke tempat ini dan saat itu aku tidak sendiri. Seperti sekarang, hari itu pagi masih enggan beranjak berganti siang. Aku yang datang saat itu melihat seorang perempuan muda duduk sendiri sambil bersandar pada sebatang pohon. Selembar kertas dan sebuah pulpen terselip di antara jari-jarinya. Sesekali mukanya ditekuk dengan mata menatap tajam entah pada apa. Aku memperhatikannya dari jauh dan sangat menikmati setiap gerakannya, terlebih lagi wajahnya yang manis yang uhm, sangat menarik perhatianku, tapi tampaknya ia sama sekali tak menyadari keberadaanku. Agak lama aku memperhatikannya.
                        Nulis apa sih?” Tanyaku saat tiba-tiba muncul di dekatnya.
                        “Lagi nulis puisi.”
                        “Kamu sering ke tempat ini?”
                        “Iya, kalau lagi pengen nulis puisi.”
                        “Jadi kamu kesini cuma buat nulis puisi?”
                        “Iya.”
                        “Apa istimewanya tempat ini?”
                        Nggak ada. Cuma nyaman aja nulis di sini.” Senyumnya tertarik. Manis sekali.
                        “Saya Andi. Kamu?”
                        “Wira.” Jawabnya singkat dan senyum itu lagi.
          Setelah kami ngobrol sebentar, ia lalu pergi. Berjalan santai sambil menenteng kertas dan pulpen. Esoknya, aku kembali lagi ke tempat itu. Aku yakin ia pasti akan ke tempat itu lagi karena puisinya belyum selesai. Benar saja, ketika aku tiba, ia sudah ada di tempat itu lengkap dengan kertas dan pulpennya, dan bersandar pada sebatang pohon yang sama.
                        “Kamu datang lagi?” Katanya yang seperti telah menduga kedatanganku.
                        “Iya. Gimana puisi kamu? Udah selesai?”
                        “Iya. Kamu mau baca?”
                        “Boleh.”
          Ia menyodorkan puisinya ke arahku diikuti senyum itu lagi. Sangat manis. Tapi belum sempat membacanya aku sudah heran.
                        “Ini apa judulnya?”
                        Nggak ada.”
                        Kok gitu?”
                        “Aku memang sengaja menyelesaikannya tanpa judul.”
                        Udah? Sampai di sini aja?”
                        “Iya.”
          Aku berdebat dengan pikiranku. Kenapa puisi ini tak berjudul? Gumamku dalam hati.
Terdiam
Menunggu
Tertahan
Kapan terbebas?
Aku ingin pergi dari diam ini
. . . .
        Hari ini kami janjian ketemu di lembah itu. Katanya ia ingin memberikan sebuah puisi untukku. Tak seperti biasanya, ia belum ada di tempat itu saat aku tiba. Setelah agak lama menunggu, ia akhirnya datang. Kali ini dengan setelan lebih rapi dan anggun dari biasanya. Matanya berbinar cerah dan senyumnya lebih manis dari biasanya. Sangat indah.
            “Ini puisinya.”
            “Masih puisi yang kemarin?”
            “Iya. Ada tulisan di belakang puisi itu, tapi jangan dibaca dulu.” Katanya lalu berlari meninggalkanku. Aku tak bias mencegahnya pergi. Setelah ia menghilang dari pandanganku, aku membalik kertas itu.
          “Aku menunggu seseorang untuk memberinya judul dan setelah melihatmu, aku yakin kaulah orangnya.”
***
          Esoknya aku kembali lagi ke tempat itu untuk bertemu dengannya tapi ia tak pernah ada. Esoknya, esoknya, dan esoknya selalu sama, ia tak pernah datang.
***
          Kini, setelah lima tahun berlalu aku masih menyimpan puisi itu. Aku pun telah melengkapi dengan sebuah judul seperti yang kau minta. Kapan kau kembali untuk melengkapi titik-titik yang sengaja kau sediakan itu dan menyelesaikannya dengan indah.
Sendiri
Terdiam
Menunggu
Tertahan
Kapan terbebas?
Aku ingin pergi dari diam ini
. . . .

Jumat, 14 Juni 2013

Sebuah Elegi



Sebuah Elegi
Andi Makkaraja:

          Seseorang melambaikan tangan ke arahku sambil setengah meneriakkan namaku. Aku menoleh dan melihatnya duduk santai di bawah pohon mangga, tepatnya di atas sebuah kursi kecil setengah jadi. Aku menyebutnya setengah jadi karena kursi itu dibuat tanpa sandaran. Ia melambaikan tangannya, bermaksud memanggilku untuk merapat ke sisinya.
          “Kamu dari mana nak?” Segera ia membuka dialog setelah aku berada di dekatnya. Asap rokok menyembur dari mulutnya. Aku mengipas-ngipaskan tangan untuk mengusir asap rokok tersebut.
          “Dari toko Pak Rahmat beli obat. Disuruh sama bapak.”
          “Memangnya bapak kamu sakit?”
          “Iya om, sakit kepala ringan. Sebentar yah om, aku langsung ke rumah dulu. Sudah ditunggu bapak dari tadi.”
          “Iya nak!” Balasnya singkat.
 Aku senang sekaligus heran atas sikap Om Jafar hari ini. Tak seperti biasanya yang lebih suka diam dan hanya merespon orang-orang dengan anggukan dan gelengan kepala pertanda, ya atau tidak. Aku melangkah sepuluh meter, dua puluh meter, hingga tatapanku yang terakhir sebelum aku menghilang di balik belokan, ada binar cerah di matanya.
          Berselang beberapa menit kemudian aku kembali lagi menemuinya. Ia masih setia duduk sendiri di bawah pohon mangga tadi, tentunya dengan selinting rokok di ujung bibirnya. Kali ini aku membawakannya secangkir kopi, minuman kesukaannya. Jika saja ada pemilihan penggila kopi dan rokok terbaik, maka dengan keyakinan sempurna aku akan bertaruh untuknya, berapa pun itu. Orang sekampung juga telah menghapal kebiasaannya yang lebih mengutamakan kopi dan rokok dibanding makanan, maka ketika Om Jafar datang atau sekedar berkunjung ke rumah-rumah mereka, kopi selalu jadi menu spesial untuknya. Hitam pekat dengan sedikit gula.
          “Kamu datang lagi nak menemani om.”
          “Iya om. Sesuai yang aku janjikan tadi. Ini om aku bawakan kopi.”
          “ Terima kasih banyak nak. Pagi ini aku memang belum minum kopi.”
Om Jafar menyeruput teguk demi teguk kopi itu. Tampak betul bahwa meminum kopi adalah kesukaannya, apalagi jika dipadu dengan sebatang rokok, maka kesempurnaan hidup sepertinya terwakilkan dalam racikan aroma sederhana dan tradisional itu, setidaknya sempurna untuk ukuran orang seperti Om Jafar.
          Pagi itu Om Jafar bercerita banyak tentang hidupnya. Dimulai dari petualangannya merantau ke banyak negeri orang, termasuk Malaysia. Ia bercerita tentang berbagai pengalaman hidupnya, dimulai dari tanah pertama yang diinjaknya ketika meninggalkan kampung, yaitu Pulau Sumatera, sampai perantauan terakhirnya di negeri jiran. Ia juga bercerita tentang kejadian-kejadian yang sempat dialaminya. Orang-orang yang pernah berkawan baik atau pun sempat berkonflik dengannya tak luput dari ceritanya. Saat itu aku menjadi pendengar yang baik atas cerita-ceritanya. “Ingatan Om Jafar masih kuat.” Gumamku dalam hati. Ceritanya berakhir pada tegukan terakhir kopinya lalu ia meminta izin untuk tidur. Aku mengiyakan. Ia pun melangkah meninggalkanku. Aku melihat binar di matanya semakin cerah.
          Selepas Om Jafar kabur dari pandanganku, aku tiba-tiba merasa ada yang kurang dari ceritanya. Tak sedikit pun dari rangkaian ceritanya itu yang menyinggung sosok seorang perempuan. “Apa iya dari rantauan Om Jafar di negeri orang dengan waktu yang cukup lama, ia tak pernah jatuh hati atau sekedar suka kepada seorang perempuan.” Pikirku dalam hati.
****
          Hari ini tepat seminggu aku tak melihat Om Jafar. Biasanya setiap pagi dalam dua atau tiga hari ia selalu berkunjung ke rumahku. Om Jafar adalah sepupu dari ibuku, orang tua mereka saudara kandung, jadi rumahku adalah rumah Om Jafar juga dan akan sangat aneh jika ia tak menginjakkan kaki di sini dalam waktu yang agak lama.
Aku menanyakannya kepada ibu dan bapak tapi tak ada yang benar-benar tahu. Mereka hanya berandai-andai. “Mungkin dia ada di rumah nenek kamu karena selama ini dia tinggal di sana, atau mungkin dia ikut orang lain untuk mencari kerja seperti yang sering dilakukannya selama ini, mungkin juga dia tidak enak badan sehingga harus terus beristirahat di rumah nenekmu.” Dan serangkaian mungkin-mungkin lainnya yang membuatku semakin bingung. Untuk memuaskan rasa penasaran, saat itu juga aku datang ke rumah nenek, tempat Om Jafar tinggal selama ini. Sama seperti ibu dan bapak, nenek juga tidak tahu ke mana Om Jafar pergi.
          “Sudah. Tidak usah khawatir. Dia memang sering seperti itu. Kalau tiba saatnya atau kalau dia rindu dengan rumah, dia pasti akan pulang juga.”
          “Tapi ini sudah lama nek, satu minggu.”
          “Yah, kita tunggu saja. Dia pasti akan pulang.” Kata nenek yakin yang juga sedikit melegakan perasaanku. 
***
          Aku pernah bertanya kepada ibu tentang sikap Om Jafar yang selalu murung. Kata ibu, Om Jafar memang orangnya seperti itu, tapi salah satu sikapnya yang tidak suka bicara bertambah parah ketika ibu dan saudara perempuannya meninggal dunia dalam waktu yang hampir bersamaan. Om Jafar punya adik laki-laki tapi sudah puluhan tahun mereka tidak pernah bertemu. Terakhir bertemu ketika mereka masih tinggal serumah dalam perantauan di Sumatera. Om Jafar memutuskan meninggalkan adiknya dan pergi ke Malaysia karena hubungan mereka tidak akur lagi. Sementara itu bapaknya sudah lama meninggal dunia. Ditambah dengan kesendiriannya dalam usia 40 tahun lebih, maka akan sangat wajar dan mudah dipahami jika sikap Om Jafar memang lebih banyak diam dan murung. Lirikan matanya yang penuh binar cerah dan canda tawa lepas beberapa hari lalu terlintas lagi di pikiranku. “Itukah Om Jafar yang sebenarnya?”
****

          Adzan shalat jum’at berkumandang. Aku menghentikan laju motorku dan memarkirnya di halaman mesjid. Keinginan untuk melaksanakan shalat jum’at di kampung halaman sepertinya harus kutunda dulu sampai jum’at depan. Aku meletakkan tas berisi buku-buku kuliahku di teras mesjid itu lalu melangkah ke tempat wudhu. Aku membasuh seluruh tubuh dengan air sebelum melangkah ke dalam mesjid dan melaksanakan shalat jum’at secara berjamaah. Di dalam mesjid aku bertemu dengan Om Jafar. Matanya tak secerah beberapa hari lalu, tapi wajahnya menyinarkan sesuatu. Aku melangkah mendekatinya dan duduk di sampingnya. Ia baru menyadari kedatanganku ketika ia selesai shalat.
          “Om ke mana aja?” Tanyaku berbisik.
          “Om tinggal di desa ini nak.” Jawabnya dengan senyum merekah. Mungkin ia juga senang melihatku.
          “Tinggal sama siapa?”
          “Om kerja jadi kuli bangunan, jadi om tinggal di rumah orang yang mempekerjakan om.”
          “Kenapa om tidak pernah pulang? Ibu, bapak, dan nenek mengkhawatirkan om.”
          “Om tidak bisa pulang nak sampai pekerjaan om selesai.”
          “Tapi om kan bisa ngasih kabar.”
          “Bagaimana caranya? Om tidak pernah ketemu dengan orang sekampung.”
Seorang jemaah memberi isyarat kepada kami untuk mengecilkan suara. Pembicaraan kami tertunda. Khatib naik ke mimbar untuk mulai berkhotbah. Suasana mesjid pun menjadi lebih khidmat, semua jemaah diam, termasuk aku dan Om Jafar.
Setelah selesai melaksanakan shalat jum’at, aku pamit kepada Om Jafar untuk pulang ke rumah, sementara itu ia beranjak ke tempat kerjanya.
****
          Beberapa hari berikutnya, aku menemukan Om Jafar di bawah pohon mangga, tempat di mana ia sering duduk sendiri. Ia melihatku tapi tak memanggilku, aku lalu berinisiatif sendiri untuk mendekat ke arahnya. Ketika berada lebih dekat, ia melirikku sejenak sebelum menumbukkan pendangannya pada tanah kosong di depannya. Tatapannya kosong, bahkan nyaris tanpa kedipan. Mulutnya bisu. Ia hanya tertunduk. Tubuh kurusnya dan rambut gonrongnya kelihatan lusuh. Gersang, tanpa kehidupan.
          “Sudah lama pulangnya om?” Aku bertanya sekedar berbasa-basi untuk memancing ceritanya. Tapi ia hanya menjawabku dengan anggukan kepala. Pelan, pelan, dan pelan lalu kembali diam. Mulutnya terkunci rapat dan hanya terbuka jika lintingan rokoknya dijepitnya di antara kedua bibirnya, bukan untuk bicara. Aku tak melihat ada kopi di dekatnya. Aku pulang ke rumah lalu kembali lagi dengan secangkir kopi. Ia segera meminum kopi itu. Seteguk kopi ternyata hanya mengantarkannya untuk diam. Aku bergumam, ini bukan Om Jafar yang tempo hari duduk bersamaku di tempat ini atau mungkin memang seperti inilah Om Jafar, tapi siapa yang dulu duduk bersamaku di sini? Sepertinya hal-hal yang selalu mengganggu pikiran Om Jafar selama ini kembali lagi dan membuatnya menjadi manusia tampa bicara, tanpa ekspresi, dan tanpa senyum.
          Esoknya, aku harus kembali ke kota untuk melanjutkan kuliah. Untuk pertama kalinya aku merasa sangat berat meninggalkan Om Jafar. Sebelum berangkat, aku menemuinya di bawah pohon mangga. Aku membawakannya dua bungkus rokok dan sebuah telepon genggam sederhana. Bekas teleponku yang masih bagus sampai sekarang. Aku sengaja menyiapkannya untuk Om Jafar agar ia bisa memberikan kabar kepada ibu atau bapak jika pergi lagi dan juga untuk mengusir rasa sepinya karena walaupun sederhana, telepon genggam itu bisa dipakai untuk memutar lagu. Aku lalu mengajarinya cara menggunakan handphone itu. Ia menyimak kata-kataku dan sebuah senyum terlukis di wajahnya. Kembali binar cerah menghiasi matanya.
***
          Dua bulan kemudian, aku kembali ke kampung. Belum sejam aku mengistirahatkan tubuhku setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, aku langsung meminta izin ibu untuk menemui Om Jafar. Aku tidak bisa tenang sebelum menemuinya. Kata ibu, sejak kemarin Om Jafar tinggal dan bermalam di kebun nenek. Ia membantu nenek menjaga kebun jagungnya dari gangguan babi hutan.
          Aku berada di tengah kebun itu. Aku berteriak memanggil Om jafar tapi tak ada jawaban, hingga aku sampai di sebuah pondok kecil yang ada di kebun itu. Suasananya dingin dan mencekam. Di dalam pondok itu ada juntaian kaku sepasang kaki, pucat. Darah dan jantungku tergerak tanpa kontrol. Aku melompat ke dalam. Tubuh Om Jafar tergantung di dalam pondok itu. Lilitan tali mencekik lehernya. Aku segera melepaskan tali itu dan menurunkan lalu membaringkan tubuhnya. Aku memeluk tubuhnya. Tubuh jangkung dan kurus itu mengeluarkan hawa dingin, sangat dingin. Air di mataku mengalir dan menetesi wajahnya yang keriput. Aku membelai rambutnya sambil terus menangis. Handphone di kantong bajunya masih terus melagu, menyanyikan lagu kenangan. Aku mengeluarkan handphone itu. Sebuah pesan singkat yang gagal terkirim, atas namaku.
                                      “NAK, KAPAN KAMU PULANG?”
                                      APA KAMU JUGA INGIN
                                      MEMBIARKANKU SENDIRI?”
                                     

Jumat, 19 April 2013

Deja Vu


DEJA VU
Andi Makkaraja:

Hujan menangis. Seperti itulah aku memikirkan hujan kali ini. Derasnya menumpah tepat beberapa detik setelah aku dan orang-orang menguburkan diriku dalam liang yang tanahnya kini menjadi becek dan berair. Mungkin besok dan nanti tak ada hari lagi sebab hujan kali ini betul-betul merampas hak matahari dan menjadikannya tanpa wujud. Hilang serupa malam. Aku menyaksikan kuburanku sendiri. Air keluar dari setiap sisinya. Mungkin tanah di atasku itu yang kini telah mencair tak kuat menampung jutaan volume air yang terus mengalirinya, atau mungkin ia juga menangis?
Tak cukup dengan air langit yang terus membumi, suara yang penuh dengan nada samar datang beriringan dengannya. Aku tak mengerti apa yang dibunyikannya atau yang ingin dikatakannya, tapi suatu masa aku menangkap bunyi sirine mobil pengantar jenazah terselip di antara raungannya. Aku mengabari diriku tentangnya, ia pun berduka.
Aku menyudutkan tubuh pada tepi kamar. Ingin kukutuk air yang terus menghujaniku dan petir yang terus meneriakiku.

***
            Seseorang menghampiriku. Mataku yang sembab tak mengenalinya. Seperti kanvas yang tak tersentuh kuas, wajahnya putih dan kosong. Aku tak menemukan sedikit goresan di sana. Betul-betul kaku dan dingin. Berikutnya, dari jarak yang tidak begitu jauh dan tidak begitu dekat dari mataku, terlihat wajahnya mulai bercerita. Bibirnya digerak-gerakkan seperti ingin melafalkan sesuatu, tapi telinga dan mataku tak mampu menerjamahkannya. Aku kalap.

***

            Aku merasakan tubuhku membatu. Beku. Gemetar menahan dingin. Tulangku terasa nyeri seperti tertusuk-tusuk duri. Pori-poriku mengeluarkan air, tapi aku merasaknnya panas. Keringat panas.
            Beberapa jam lamanya, aku tetap dengan keadaan itu, terbaring kaku. Aku mulai menghapal kejadian-kejadian sama yang selalu berulang setiap jam-nya di ruangan beukuran sedang dan putih itu.  Aku juga mulai menghapal wajah-wajah yang selalu datang bergiliran menemaniku. Aku tak bisa mengingat jumlahnya tapi mereka semua serupa. Berambut panjang dan indah, berwajah cerah dengan mata dan bibir selalu tersenyum, potongan baju mereka pun selalu sama dan semuanya berwarna putih bersih.

***

            Tubuhku terbentur di sudut kursi. Seseorang melemparku dengan keras ke dalam ruangan yang lebih pantas di sebut neraka. Atau mungkin memang inilah neraka yang sering disebut-sebut para penceramah dalam dakwahnya. Mungkin tempat ini sudah menjadi neraka jauh sebelum aku menamainya neraka dan berada di dalamnya. Pengap dan gelap.
            Aku mencium bau keringat dan bukan dari tubuhku. Mungkin ada orang lain di tempat ini. Aku meraba-raba sisi tembok yang kasar dan gelap itu.
            “Siapa di sana?” Teriakku. Suaraku terpantul dan menanyaiku balik dengan pertanyaan yang sama. Aku mengulang kembali enam sampai delapan kali tapi tetap tak ada jawaban.
            “Weh bocah sialan, hentikan! Telingaku sakit mendengar suaramu.” Seseorang menggertakku dari luar. Penjaga ruangan ini.
            “Siapa yang kau sebut bocah? Dasar kacung tolol.”
            “Apa? Kau memanggilku kacung?” Suaranya meninggi.
            “Iya kacung! Kenapa?”
            “Coba kau ulang sekali lagi!”
            “K A – C U N G!!!”
            Wajahnya memerah. Matanya melotot tajam. Napasnya tersengal-sengal. Nampaknya ia betul-betul ingin menelanku bulat-bulat. Ia lalu duduk kembali, setelah sempat bediri tegang. Aku merasa menang.

***

            Sebelumnya. Di ruangan putih.
            Empat orang berpakaian rapi datang mengerumuniku. Kali ini aku melihat seorang yang beda di antara mereka. Tak berambut panjang dan indah, tak bertubuh anggun, dan tak berwajah cerah seperti yang lainnya. Ia justru bertubuh gempal, berkulit agak gelap, dan aku tahu ia seorang lelaki. Ia menyunggingkan senyum ke arahku. Samar-samar aku mendengar ia membisikkan sesuatu kepada salah seorang rekannya. Perempuan itu lalu beranjak pergi dan kembali dengan beberapa benda asing di tangannya. Aku mengamati mereka dengan mata bergerak-gerak ke sana kemari. Lelaki gempal itu terlihat membisikkan sesuatu lagi, tapi kali ini bukan hanya kepada perempuan tadi, tetapi juga kepada dua rekannya yang lain. Sepertinya ada kesepakatan di antara mereka. Ketiga perempuan itu lalu merapat ke arahku. Salah seorang di antara mereka mengutak-atik tempat tidurku. Beberapa selang kemudian mereka mendorong tempat tidurku dan membawaku pergi.
            “Tinggalkan aku sendiri. Biarkan aku di sini. Jangan membawaku pergi.” Aku meronta. Aku tak ingin meninggalkan ruangan putih itu. Mereka tak mempedulikan kata-kataku. Mereka tak mempedulikanku. Seperti singa yang nyaris kehilangan akal karena tertarik kemolekan rusa yang menari di depannya, aku dengan gila menerkam salah seorang di antara mereka. Kemarahan membuatku lupa diri dan tak mengingat semua kejadian setelah itu, sampai seseorang menyeretku ke sebuah ruangan yang kunamai neraka.

***

            “Pergi sana. Kami tak tahan dengan tingkahmu. Anjing!” Gerutu penjaga neraka yang tiap harinya beradu mulut denganku.
            Aku tersenyum puas. Terbebas dari neraka yang selama ini menyangkarku. Neraka pun menyerah kepadaku.

***

Esoknya.
            Aku tiba di tempat yang kusebut surga. Kuketuk pintunya. Berkali-kali, tak ada jawaban. Aku teringat, aku pernah menyimpan kuncinya di bawah pot bunga. Kugeledah dasar pot itu dan aku menemukan yang kucari. Segera kubuka pintunya. Suasana lengang, sunyi, dan berdebu menyambutku.
            “Ayah!”
            “Ayah! Aku pulang.” Aku terus memanggil ayah dan berjalan ke setiap sisi rumah itu. Semua tempat kosong dan akhirnya aku sampai di depan kamarku. Aku membuka pintunya dan kenangan tentang aku, ibu, dan ayah kembali memutar di otakku. Dari balik jendela yang tingginya tak seberapa, aku melihat dua buah batu nisan saling berdampingan. Aku tak mengenali gundukan tanah di sebelah kuburan ibu. Aku melangkah ke pojok kamar hingga berdiri tepat di muka jendela. Tulisan di nisan itu pun semakin jelas. Aku mengejanya, I-S-M-A-I-L.
Seketika bening di mataku terurai dan mengkristal begitu saja. Menetes seperti butiran kerikil. Mengalir dan hanya sebutir. Tertahan oleh ngilu yang menggema dan mengganggu setiap ruang tubuhku hingga tak terkira perihnya.
            “Jadi di sinilah kau sekarang ayah? Kau lebih memilih bersama ibu.”

***

            Dulu, ibu kusebut aku. Kematian ibu kuanggap kematianku. Kuburan ibu kumaknai kuburanku. Tapi sekarang kematianmu serupa kiamat. Aku tak ingin berbicara kepada dunia lagi, sebab kau memang mengajarkanku untuk diam.