Aku dan Puisi, Sendiri
Sebuah kotak kecil berbentuk segi
empat. Di dalamnya terdapat sebuah coretan hitam tanpa makna, tanpa arti, dan
beku. Aku ingin menyelesaikan coretan itu dengan menambahkan bebrapa garis dan
titik agar lebih bermakna dan mampu menyampaikan pesan bagi siapa saja yang
melihatnya. Kadang pula aku ingin menghiasnya dengan tetesan-tetesan tinta
berwarna-warni agar terkesan lebih hidup.Tapi, hingga aku kehabisan ide dan
akihirnya memutuskan untuk mengakhirinya, kotak kecil itu tetap terisi dengan
coretan semula yang tanpa arti.Tanpa sadar, aku telah mewakilkan gambaran
pikiranku pada coretan-coretan itu. Carut-marut, tidak jelas, dan gelap. Serupa
malam yang kini tengah memenjara dan menenggelamkanku pada renungan yang tak
berkesudah.
***
Esoknya, pagi-pagi buta aku terjaga
dari tidurku. Setelah menuci muka, aku beranjak meninggalkan rumah saat dunia
belum sepenuhnya terbangun. Ditemani sepeda butut peninggalan ayahku, aku
membelah jalan desa yang selama ini kutinggali. Sejak dulu aku terbiasa sendiri
karena memang aku lebih suka sendiri. Menurutku sendiri adalah bebas. Kita
bebbas melakukan apa saja sat sendiri. Tak ada yang berkata suka atau tidak
saat kita melakukan hal aneh. Tak ada yang berkata boleh atau tidak saat kita
melakukannya. Tak ada protes. Semuanya berjalan sepenuhnya dengan kendali kita.
Pokoknya sendiri adalah bebas. Pernah sekali, aku harus rela dikatai homo oleh
teman-teman sekolahku saat masih SMA dulu hanya karena aku tak pernah tertarik
berpacaran. Maka pagi ini, akau pun sendiri menembus dinginnya pagi.
Aku masih mengayuh sepeda ketika matahari
perlahan muncul dan meronrong dunia
dari lelap. Di balik pantulan sinar matahari yang membentuk siluet, aku melihat
bayangan tubuhku dengan gambaran lain dan asing.Bayangan itu seolah-olah membawaku
ke dunia lain. Aku mendapati diriku tidak seperti adanya. Semuanya jelas
terlihat berbeda hingga aku menyadari bahwa selama ini aku hidup bukan dengan
diriku. Ada jiwa lain yang kini sedang bermain-main denganku. Tampaknya aku
masih belum lepas dari renungan semalam. Pikiranku masih kacau.
“Oeeeeeeeeeeeee………….” Teriakku ketika
sampai pada sebuah lembah dan matahri tampak jelas di seberangnya. Tak ada
respon. Bahkan nyanyian angin dan alam pun tak terdengar. Aku tersenyum lebar
karena semakin meyakini diriku lebih merasa nyaman saat sendiri, bahkan tanpa
alam sekalipun seperti sekarang. Aku teringat, sekitar lima tahun yang lalu aku
pernah ke tempat ini dan saat itu aku tidak sendiri. Seperti sekarang, hari itu
pagi masih enggan beranjak berganti siang. Aku yang datang saat itu melihat
seorang perempuan muda duduk sendiri sambil bersandar pada sebatang pohon.
Selembar kertas dan sebuah pulpen terselip di antara jari-jarinya. Sesekali
mukanya ditekuk dengan mata menatap tajam entah pada apa. Aku memperhatikannya
dari jauh dan sangat menikmati setiap gerakannya, terlebih lagi wajahnya yang
manis yang uhm, sangat menarik perhatianku, tapi tampaknya ia sama sekali tak
menyadari keberadaanku. Agak lama aku memperhatikannya.
“Nulis apa sih?” Tanyaku
saat tiba-tiba muncul di dekatnya.
“Lagi nulis puisi.”
“Kamu sering ke tempat
ini?”
“Iya, kalau lagi pengen nulis puisi.”
“Jadi kamu kesini cuma buat
nulis puisi?”
“Iya.”
“Apa istimewanya tempat
ini?”
“Nggak ada. Cuma nyaman aja
nulis di sini.” Senyumnya tertarik. Manis sekali.
“Saya Andi. Kamu?”
“Wira.” Jawabnya singkat
dan senyum itu lagi.
Setelah kami ngobrol sebentar, ia lalu pergi. Berjalan santai sambil menenteng
kertas dan pulpen. Esoknya, aku kembali lagi ke tempat itu. Aku yakin ia pasti
akan ke tempat itu lagi karena puisinya belyum selesai. Benar saja, ketika aku
tiba, ia sudah ada di tempat itu lengkap dengan kertas dan pulpennya, dan
bersandar pada sebatang pohon yang sama.
“Kamu datang lagi?”
Katanya yang seperti telah menduga kedatanganku.
“Iya. Gimana puisi kamu? Udah selesai?”
“Iya. Kamu mau baca?”
“Boleh.”
Ia menyodorkan puisinya ke arahku
diikuti senyum itu lagi. Sangat manis. Tapi belum sempat membacanya aku sudah
heran.
“Ini apa judulnya?”
“Nggak ada.”
“Kok gitu?”
“Aku
memang sengaja menyelesaikannya tanpa judul.”
“Udah? Sampai di sini aja?”
“Iya.”
Aku berdebat dengan pikiranku. Kenapa
puisi ini tak berjudul? Gumamku dalam hati.
Terdiam
Menunggu
Tertahan
Kapan terbebas?
Aku ingin pergi dari
diam ini
. . . .
Hari
ini kami janjian ketemu di lembah
itu. Katanya ia ingin memberikan sebuah puisi untukku. Tak seperti biasanya, ia
belum ada di tempat itu saat aku tiba. Setelah agak lama menunggu, ia akhirnya
datang. Kali ini dengan setelan lebih rapi dan anggun dari biasanya. Matanya
berbinar cerah dan senyumnya lebih manis dari biasanya. Sangat indah.
“Ini puisinya.”
“Masih puisi yang kemarin?”
“Iya. Ada tulisan di belakang puisi
itu, tapi jangan dibaca dulu.” Katanya lalu berlari meninggalkanku. Aku tak bias
mencegahnya pergi. Setelah ia menghilang dari pandanganku, aku membalik kertas
itu.
“Aku
menunggu seseorang untuk memberinya judul dan setelah melihatmu, aku yakin
kaulah orangnya.”
***
Esoknya aku kembali lagi ke tempat itu
untuk bertemu dengannya tapi ia tak pernah ada. Esoknya, esoknya, dan esoknya
selalu sama, ia tak pernah datang.
***
Kini, setelah lima tahun berlalu aku
masih menyimpan puisi itu. Aku pun telah melengkapi dengan sebuah judul seperti
yang kau minta. Kapan kau kembali untuk melengkapi titik-titik yang sengaja kau
sediakan itu dan menyelesaikannya dengan indah.
Sendiri
Terdiam
Menunggu
Tertahan
Kapan terbebas?
Aku ingin pergi dari diam ini
. . . .